• Jelajahi

    Copyright © Obrolan Ruang - Ahmadin Space
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Qoutes

    40 Profesor Bakal “Hapus Jejak Sejarah” di Ruang Publik Kota Makassar?

    Ahmadin
    Jumat, 20 September 2024, 22.06.00 WIB Last Updated 2024-09-23T00:52:16Z

     

    Membaca berita berjudul “40 Guru Besar Gugat Nama Jalan Hewan di Makassar” (Saatnya Mengabadikan 7 Tokoh Sulsel) yang dimuat di Harian Tribun Timur edisi Kamis, 5/2/2015, menggugah keinginan saya untuk ikut berpartisipasi dan ambil bagian dalam rencana yang masih dalam tahap wacana ini. Usulan mengenai perubahan nama beberapa jalan di Kota Makassar yang disampaikan oleh para guru besar kepada Wali Kota Danny Pomanto dan Ketua DPRD Makassar, Farouk M. Betta, setidaknya diilhami oleh beberapa alasan utama.

    Pertama, pemberitaan di harian ini menyebutkan bahwa usulan penggantian nama jalan di Makassar karena banyak yang menilai tidak manusiawi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nama jalan yang diambil dari nama hewan dan tumbuhan. Akibatnya, dari nama-nama jalan tersebut terbangun istilah-istilah seperti Coto Gagak (kuliner berkuah khas Makassar), Pallubasa Srigala (kuliner berkuah khas Makassar), dan Pallubasa Onta (kuliner berkuah khas Makassar) di Makassar. Singkatnya, dorongan utama dari keinginan mengganti nama jalan ini adalah untuk “memanusiakan” ketujuh jalan tersebut.

    Kedua, usulan perubahan nama jalan ini bermula dari alasan bahwa banyak tokoh-tokoh yang berjasa nyaris dilupakan oleh generasi muda karena namanya tidak lagi terdengar. Untuk itu, beberapa nama tokoh diusulkan sebagai pengganti nama jalan tersebut, yaitu Prof KH Abdurrahman Shihab, KH Fadeli Lurang, Prof Dr A Amiruddin, Prof E A Mokodompit, MA, Brigjen TNI H.A. Mattalatta, KH Jamaluddin Amin, dan Drs KH Muhyidin Zain.

    Ketiga, dasar usulan perubahan nama tersebut adalah untuk menyampaikan kesan edukatif kepada masyarakat dan pentingnya pengembangan generasi muda. Hal ini didasarkan pada argumen pentingnya melestarikan nilai-nilai luhur yang telah ditunjukkan dan diamalkan oleh para tokoh sepanjang hidupnya di daerah kita. Selain itu, nama-nama jalan yang berasal dari nama-nama hewan dan tumbuhan tersebut dianggap tidak memiliki dasar historis.

    Melihat hal ini, sebagai warga Makassar dan pewaris sejarah dan nilai-nilai budaya, di satu sisi kita patut mengapresiasi usulan dan rencana “memanusiakan” nama-nama jalan tersebut. Apalagi maksud dan tujuannya adalah untuk membina generasi muda dalam upaya melestarikan nama-nama tokoh yang telah menjadi lokomotif penggerak peradaban di Sulawesi Selatan. Bisa dibayangkan jika beberapa tokoh yang telah memberikan kontribusi penting dalam sejarah dan dinamika kota Makassar harus hilang dari ingatan kolektif hanya karena ketidakpedulian kita.

    Namun, dengan kata tabe', izinkan saya membahas beberapa hal yang berbeda dari usulan dan rencana perubahan nama jalan tersebut. Pandangan ini boleh saja dianggap keliru, namun setidaknya akan menjadi second opinion sekaligus pelengkap dari proses refleksi kolektif memikirkan perkembangan dan wajah Makassar ke depan.

    Jika usulan penggantian nama jalan dari nama hewan dan tumbuhan menjadi nama tokoh dianggap sebagai proses memanusiakan manusia, maka pertanyaannya adalah bagaimana dengan nama-nama sejumlah tempat, misalnya, gedung, pertokoan, dan berbagai fasilitas lain yang sudah terlanjur menggunakan nama hewan atau tumbuhan? Sebutan Coto Gagak, Pallubasa Srigala, dan Pallubasa Onta yang diadopsi dari nama jalan tempatnya berada, justru menjadi daya tarik dan keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Makassar. Artinya, biarlah unik karena bagaimanapun juga bukan burung gagak atau serigala yang digunakan sebagai bahan Coto dan Pallubasa, sama seperti keunikan Sop Saudara yang tidak pernah dibuat menjadi soto dan Coto Jeneberang yang airnya juga tidak berasal dari Sungai Jeneberang.

    Kemudian mengenai tujuh tokoh atau mungkin lebih dari itu yang diusulkan sebagai nama jalan, pada dasarnya adalah ide yang sangat bagus. Hanya saja, itu bukan sebagai pengganti nama binatang, tetapi tujuannya mungkin untuk jalan yang baru dibangun atau menjadi bagian dari ruas jalan yang sudah sangat panjang. Selain itu, pelestarian nama-nama tokoh tidak serta merta hanya bergantung pada nama jalan saja, namun bisa/telah dilakukan melalui penamaan fasilitas umum seperti perpustakaan, aula dan berbagai fasilitas umum lainnya. Bahkan, mengapa tidak, nama-nama tokoh penting tersebut diabadikan dalam bentuk ensiklopedia yang dibuat oleh pemerintah kota yang dapat digunakan sebagai bahan bacaan lintas generasi.

    Begitu juga dengan menghilangkan dan mengganti nama-nama hewan dari sejumlah jalan dengan alasan yang tidak memiliki dasar historis, rasanya kurang tepat karena keingintahuan sejarah generasi mendatang akan lahir dari ketertarikan terhadap nama-nama unik tersebut. Sebagai contoh, Jalan Unta akan menjadi dasar pertanyaan sejarah yang akan memandu generasi-generasi selanjutnya dalam ziarah ilmiah ke masa lalu untuk mencari tahu tentang nama yang menjadi ciri khas hewan padang pasir ini.

    Jangankan istilah-istilah seperti nama jalan bersejarah, istilah-istilah yang ada saat ini pun memiliki meta-makna di balik proses pembuatannya. Sebagai contoh, nama-nama kerupuk Eifel, keripik Begal, Mie Patah Hati, Es Teler Kumpayakun, dan lain sebagainya yang muncul akhir-akhir ini memiliki cerita mengenai proses penamaannya atau mungkin tidak terlalu ekstrim jika dikatakan bahwa semuanya memiliki asbabunnuzul (alasan pemberian nama).

    Kita harus tetap percaya bahwa setiap jengkal ruang yang pernah ditinggali atau tempat manusia berpijak dan beraktivitas sepanjang zaman, memiliki cerita, kisah dan sejarahnya masing-masing yang pasti berbeda satu sama lain. Sejarah bukan hanya milik para tokoh/pelaku, tapi juga totalitas ruang, aktivitas dan waktu dalam perjalanan hidup manusia. Apakah kita lupa bahwa hampir semua rekonstruksi sejarah masa lalu melibatkan hewan dalam penyusunan ceritanya?

    Jadi, jika kita setuju dengan pernyataan ini, maka mengganti nama-nama binatang di beberapa jalan dengan nama-nama tokoh berarti mencoba “menghidupkan” tokoh-tokoh tersebut dengan mengabadikan nama mereka di jalan. Namun, di saat yang sama menghapus nama hewan berarti menghapus jejak dan cerita sejarah Kota Makassar.*

     

    [Makassar, 3 Mei 2015/Repost]

     


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Mozaik Ruang

    +